Catatan

Mudik


Kendaraan pemudik memasuki gerbang tol Cikopo-Palimanan (Cipali), Purwakarta, Jawa Barat, Senin (13/7).

 

“Hanya kepulanganmu yang tidak ada di Tokopedia.”

Bagi anak rantau, tidak ada kata yang lebih dirindukan selain pulang. Tidak ada tempat yang lebih nyaman selain kampung halaman. Orang rela menempuh waktu tak masuk akal sampai berjam-jam di jalan sekedar untuk menyantap sesuap opor bersama keluarga atau mendengar tawa sanak saudara. Menyesap kasih sayang, menyegarkan suasana guyub rukun yang mulai tergerus denyut perkotaan.

Yeay. Pesta mudik lebaran 2016 sedang memasuki masa puncak. Saya menulis catatan ini di atas mobil. Sampai sepuluh hari ke depan, kami -saya dan tiga teman lain- bertugas memantau arus mudik di jalan tol Cipali-Palimanan dan Palimanan-Brebes.

Cakupan wilayah liputan yang cukup panjang membuat tim kami harus pulang balik Cikopo-Palimanan-Brebes tiap saat. Tidak ada satu penginapan tetap. Kami menjadi manusia jalanan. Menyaksikan orang-orang pulang ke kampung halaman sambil gigit jari tidak bisa pulang ke kampung halaman.

Tapi, bagaimana pun, saya bahagia. Kapan lagi menyaksikan deretan mobil berjajar bagai kotak korek api. Mudik sebenarnya fenomena yang unik dan tak ada duanya.
Konon, mudik berasal dari kata udik, perjalanan dari hilir ke hulu. Pada masa lalu, pembangunan pusat-pusat perkotaan berada di muara-muara sungai. Saat lebaran, orang-orang desa yang merantau ke kota kembali ke kampung halaman.

Perpindahan penduduk yang terus mengalir dari desa ke kota membuat angka pemudik terus naik setiap tahun. Mudik telah menjadi hajat pemerintah RI untuk menyiapkan segala sarana prasarana, fasilitas kesehatan, dan terutama managemen transportasi. Lantas, saya teringat perbincangan dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, tahun lalu.

Menurut Haedar -yang juga dosen saya semasa kuliah-, fenomena mudik secara sosiologi terkait dengan budaya pedesaan atau budaya kampung. Suasana kampung menjadi konstruksi yang dirindukan ketika seorang individu ke luar dari kampung halaman.

Mudik lantas menjadi wahana menghidupkan kembali suasana komunalitas. Suasana komunalitas adalah rasa orang untuk selalu hidup bersama dengan orang lain dalam suasana kekerabatan dan hubungan antarpersonal yang erat.

Suasana itu tidak diperoleh dalam kehidupan baru di kota yang cenderung megapolis, di mana hubungan bersifat renggang, egosentris, individualis, dan impersonal. Relasi sosial dibangun di atas persambungan alat, baik alat teknologi, sistem, maupun birokrasi. Mudik secara sosiologis adalah fenomena kembali pada komunalitas, kembali ke tempat manusia itu lahir, tumbuh, dan dibesarkan.

Mudik adalah peristiwa pulang kembali kepada keluarga. Kembali ke tempat pertama kita memupuk nilai-nilai ketentraman, kasih sayang, dan cinta kasih yang fitri. Mudik sekaligus menjadi momentum untuk berbakti pada kedua orang tua, setelah sepanjang tahun sibuk dengan urusan dunia.

Di tengah berbagai bermasalah kehidupan, kembali ke keluarga menjadi satu hal yang sangat bermakna dalam hidup. Ke mana pun kita pergi, keluarga tetaplah tempat kembali dan pulang. Momen ini seolah menyiapkan energi kultural untuk mengarungi sebelas bulan yang akan datang.

//Dan jika/suatu saat/buah hatiku/buah hatimu/untuk sementara waktu pergi/usahlah kau pertanyakan/kemana kakinya kan melangkah.//

//Kita berdua tahu/dia pasti pulang ke rumah.//
~ di beranda, Banda Neira

*Palimanan-Brebes, Juli 2016
Yang akan mudik selepas arus mudik

Leave a comment