Sastra

Indonesia, 1960-an


“Tahun 1960-an adalah tahun yang gawat dalam sejarah sastra negeri kita,” ucap Kakek. Matanya menatap kilasan-kilasan masa lalu yang nampak nyata, sekaligus tak bisa kujangkau. Kakekku adalah penulis. Seorang yang menyempurnakan hari-harinya di depan mesin tik tua berumur dua puluh tahun.

“Mengapa, Kek? Apa yang terjadi pada tahun itu?” tanyaku seraya meletakkan secangkir teh hangat dan sepiring singkong goreng di atas meja rotan di sampingnya.

Kakekku 76 tahun dan ingatannya tetap luar biasa. Nama, tanggal, bulan, dan tahun seakan lekat begitu mudah di kepalanya. “Iqra’, apa guna Tuhanmu menurunkan ayat itu untuk pertama kalinya? Kalian adalah generasi pemalas yang dimanjakan oleh teknologi, Nak. Membaca buku pun kau enggan, padahal dulu ulama kita menulis beribu-ribu halaman dengan celupan tinta. Otakmu tidak akan semakin tajam kalau tak pernah kau gunakan!” Demikian nasehatnya selalu.

“Apa yang kau ingat dari tahun itu, Nak?”

Kakek balik bertanya, memancingku halus. Sementara, otakku tak pandai mengingat tahun. Kucari-cari jawaban, barangkali ada satu dua peristiwa yang kudapat dari pelajaran sejarah di sekolah yang dapat mengingatkanku dengan tahun itu.

“1965. G 30 S/PKI, Kek. Juga peralihan Orde Lama ke Orde Baru pada 1967,” jawabku. “Tapi, itu tidak berkaitan dengan sejarah sastra, itu politik…” lanjutku menggantung ragu.

“Ya. Kau benar! 1965 adalah tahun berdarah. Siapa bilang peristiwa pemberontakan PKI itu tidak berkaitan dengan sejarah sastra, Nak. Peristiwa itu sangat berkaitan.” Kakek membenarkanku, berhenti sejenak sebelum melanjutkan.

“Tapi bagi kami-kami ini, tahun 1960-an tidak hanya dikenang sebagai tahun pemberontakan G 30/S PKI. Tahun itu adalah tahun ketika dua ideologi yang berbeda berbenturan di ranah sastra. Antara Sosialisme-Marxisme dan Humanisme Universal. Antara kelompok Manipol dan Manikebu atau anti-Manipol. Antara Lekra dan yang bukan Lekra.”

Kakekku telah mulai berkisah, melepaskan endapan pikiran yang tersimpan di benak tuanya. Orang sering bilang bahwa menjadi tua adalah menjadi semakin cerewet. Kakek pun barangkali begitu. Dan mungkin kelak aku –dan kau- pun juga akan begitu. Karena menjadi tua dan pikun seperti kembali menjadi anak-anak. Sama seperti ketika kau masih berusia lima, lantas kau tunjukkan buku gambar kesayanganmu di muka ibumu sembari bercerita panjang lebar tentang lukisanmu yang sederhana itu. Kau ingat, ibumu dengan penuh perhatian mendengarkanmu, meskipun ia bosan, jenuh, dan lelah. Maka, aku selalu belajar mendengarkan dengan takzim setiap kisah Kakek. Meski kadang kisahnya lebih menyerupai dongengan bagiku.

 “Ada perbedaan konsepsi antara sastrawan Lekra dengan sastrawan non Lekra”, lanjutnya. “Para sastrawan Lekra mencap para seniman yang menganut paham humanisme universal sebagai sastrawan borjuis. Mereka melakukan berbagai tekanan dan teror terhadap para seniman yang tidak mau bergabung dengan Lekra. Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi dan pemerintah Orde Lama pada masa itu juga cenderung memihak pada paham yang dianut Lekra. Semua orang dipaksa untuk menentukan di pihak mana ia berdiri, Lekra atau bukan Lekra.”

“Ya, aku ingat. PKI tidak hanya menjadikan politik sebagai satu-satunya jalan untuk menguasai republik ini. Mereka juga berjuang lewat kebudayaan, atau tepatnya Lekra sebagai organisasi kebudayaan milik PKI. Sastra dijadikan alat propaganda dan agitasi massa. Sastra sebagai kekuatan arus bawah dan politik sebagai kekuatan arus atas. Seni untuk rakyat –lawan dari seni untuk seni-, bukankah demikian slogannya, Kek?”

Kakek tersenyum mengangguk-angguk. Nampak ia bahagia karena aku mengutarakan sepenggal ingatanku. Mata tuanya bersinar-sinar, makin bersemangat.

“Lantas, bagaimana reaksi para sastrawan non-Lekra, Kek?”

“Manifesto Kebudayaan! Serangan-serangan dari sastrawan Lekra yang semakin keras dan meningkat terhadap kebebasan rohani dan kebudayaan itu jelas menimbulkan reaksi para sastrawan dan budayawan non Lekra. Akhirnya, tercetuslah Manifesto Kebudayaan yang –dengan olok-olok- oleh pihak Lekra disebut Manikebu (mani+kebo). Pada 19 Oktober 1963, harian Berita Republik memuat Manifest Kebudayaan. Tak lama kemudian, majalah Sastra Tahun III, No. 9 dan 10 memuat naskah yang sama. Di tengah tekanan kehidupan sekeliling, Sastra menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang hendak mempertahankan otonomi seni dalam kehidupan.”

Bagiku, generasi 90-an yang hanya tahu Facebook dan Twitter ini, apa yang dikisahkan Kakek sulit mewujud menjadi nyata. Kuperkirakan bahwa zaman itu, iklim kebudayaan dan kesusastraan begitu kental, tidak cair seperti sekarang.

“Naskah asli Manifest Kebudayaan disusun oleh Wiratmo Soekito pada tanggal 17 Agustus 1963. Kemudian didiskusikan kembali dan ditandatangani oleh 12 sastrawan. Mereka adalah sahabat-sahabatku, aku hapal benar. Ada H. B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin (Arief Budiman), D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Djufri Tanissan, dan A. Bastari Amin.”

Tak kukenal betul nama-nama itu kecuali beberapa saja. H.B Jassin, sang ‘paus’ Sastra Indonesia, yang Pusat Dokumentasi Sastra-nya kuziarahi beberapa tahun lalu di Jakarta. Goenawan Mohammad, dewa-nya Tempo, seorang liberal, adalah nama yang sangat akrab di telinga. Catatan Pinggir-nya setebal 6 jilid pernah membuatku mabuk kagum dan terobsesi menjadi penulis kolom. Arief Budiman, siapa tak tahu dia? Orang yang berintegritas; kritikus sastra; kakak kandung Soe Hok Gie -sang demonstran yang masyhur lewat catatan hariannya-; anak penulis peranakan Soe Lie Piet; Ph. D. dari Harvard University; serta pensiunan Guru Besar Melbourne University yang menggugah dunia ilmu sosial Indonesia dengan teori struktural sebagai teori paradigma alternatif. Trisno Sumardjo, Bur Rasuanto, D.S. Moeljanto, dan Bastari Amin pernah kudengar sepintas lalu. Tapi selebihnya, they are so strange for me.

“Apa yang mereka rumuskan dalam Manifest Kebudayaan, Kek?”

“Manifest Kebudayaan berisi beberapa hal pokok, di antaranya pendapat bahwa kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia dan penggunaan Pancasila sebagai falsafah kebudayaan. Paham kau apa maksudnya? Terkait pokok yang pertama, hal itu berarti bahwa tidak ada yang lebih diutamakan antara satu bidang kebudayaan dengan bidang kebudayaan yang lainnya. Dan dengan falsafah demokrasi Pancasila, mereka menolak semboyan the end justifies the means, mereka menegaskan bahwa tindakan meraka tetap selaras dengan Pancasila dan tidak bertentangan dengan Manipol Pemimpin Besar Revolusi.”

Matahari sore telah memerahkan mega di langit barat. Terompet kecil kembang pukul empat di depan rumah merekah merah, sulam menyulam dengan yang putih. Mungkin kau menyebutnya bunga ashar atau four o’clock plant, sedang nama latinnya adalah Mirabilis jalapa L.

“Bagaimana tanggapan para sastrawan yang lain terhadap rumusan itu? Apakah banyak sastrawan yang mendukung manifest kebudayaan, Kek?”

“Ya. Ya, tentu. Tanggapan terhadap Manifest Kebudayaan ini sangat luar biasa. Para seniman dan budayawan yang selama ini hidup di bawah teror Lekra melihat Manikebu sebagai juru selamat. Dukungan terhadap Manikebu pun secara gencar diberikan oleh para seniman di berbagai kota. Padang, Yogya, Medan, Bandung, dan banyak lagi. Para sastrawan Manikebu kemudian menindaklanjutinya dengan mengadakan Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia atau KPPI di Jakarta bulan Mei 1964.”

lkopi

Kakek menghela nafas sejenak. Matanya kembali menerawang menengok peristiwa-peristiwa masa lalu yang tak bisa kujangkau itu. Sesaat kemudian ia melanjutkan kembali dengan nada sedih.

“Namun, Lekra tidak tinggal diam. Manikebu justru dijadikan alat untuk semakin menghancurkan orang-orang yang mereka anggap musuh. Meski sebenarnya adapula kelompok-kelompok yang tidak ikut campur dengan Manifest Kebudayaan, seperti Lesbumi, organisasi kebudayaan milik Nahdatul Ulama. Bersamaan dengan gentingnya waktu revolusi, kemudian Manikebu dinyatakan terlarang oleh Bung Karno pada tanggal 8 Mei 1964. Manikebu dituduh memberi kesan mendampingi Manifesto Politik (Manipol), yang telah menggariskan pedoman jelas untuk kebudayaan pada waktu itu.”

 “Akibatnya, kau tahu, karya-karya pengarang Manifest dibekukan oleh pemerintah, termasuk beberapa pengarang yang tidak tahu menahu tapi saat itu tengah berada di Malaysia. Maklum saja, pemerintah Indonesia pada masa itu tengah mengalami konfrontasi dengan pemerintah Malaysia. Para pendukung Manikebu dibersihkan dari jajaran birokrasi. HB Jassin diritul dari UI. Wiratmo Soekito pun demikian, diritul dari jabatannya.”

“Kalau begitu, apakah Manikebu telah gagal?” tanyaku spontan.

“Wiratmo Soekito, yang tak lain adalah perumus utama Manikebu, dalam tulisannya berjudul Catatan Mengenai Manifest Kebudayaan, mengakui bahwa memang terdapat lembaran-lembaran hitam di dalamnya. Di antaranya terkait sikap kompromistis dalam menghadapi pidato KKPI Jenderal AH. Nasution yang menghendaki agar disusun suatu manifesto baru. Hampir setiap penandatangan Manifest juga telah berpendapat bahwa Manikebu telah merupakan suatu kegagalan. Tapi bagi Kakek tidak. Manikebu tetap menjadi bukti perjuangan para sastrawan kita menghadapi kenyataan adanya kelompok lain yang berusaha mengebiri sastra dengan menjadikannya sebagai senjata politik.”

“Lantas, di mana para pengarang muslim kita mendudukkan diri, Kek?”

Aku merasa bahwa posisi mereka belum jelas. Jelas para sastrawan muslim itu anti-PKI, tapi bagaimana selanjutnya ideologi mereka? Di mana-mana marxisme biasa dilawankan dengan kapitalisme. Apakah itu berarti, dengan berada di kubu Manikebu yang berpaham humanisme universal, mereka adalah pro-kapitalisme? Sekompleks apakah posisi mereka? Kakek tampak berpikir mendengar tanyaku.

“Yang lebih nampak bukan Islam vs PKI, tapi PKI vs non PKI. Lekra vs non Lekra, Manipol vs anti-Manipol. Maka, sekalipun sebagian besar pengarang muslim berada di barisan Manikebu, ada pula yang menolak Manikebu. Telah kukatakan padamu, Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, H.B. Jassin, Usmar Ismail, Rangkuti, Taufiq Ismail, dan sejumlah yang lain mendukung Manikebu. Tapi ada pula yang dinamakan Iwan Simatupang sebagai “mahzab Bandung”, yang memiliki garis sendiri. Mereka ialah Toto Sudarto Bachtiar, kawanku Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., Trisnojuwono, dan beberapa lainnya. Situasi ketika itu sangat pelik dan pilihan yang ditawarkan tidak banyak. Mereka melakukan kompromi dalam batas-batas yang diizinkan.”

Aku bisa mengerti. Paham-paham begitu mudah masuk dan berkelindan di ranah sastra. Pun hari ini, Kawan. Seolah setiap paham atau ideologi memang harus diwakili oleh satu bentuk karya sastra.

“Kek.. Kakek belum berkisah, siapakah orang-orang Lekra?”

“Ah ya, hampir aku lupa, Nak. Yang paling tampak di antara mereka tentu saja Pramoedya Ananta Toer dan Sitor Situmorang. Orang-orang Lekra bergerak lewat surat kabar Harian Rakjat dan Bintang Timur. Kau ingat, di harian Bintang Timur ada lembaran kebudayaan Lentera yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kesayanganmu? Lewat media itulah mereka melancarkan propaganda dan serangan-serangan kepada sastrawan Manikebuis.”

Kakek tersenyum mengucapkan nama “Pramoedya”. Tidak bisa lain, ia sastrawan favoritku. Tetralogi Bumi Manusia adalah chef d’ oeuvre-nya. Aku pun tersenyum kilas.

“Aku memandang Pramoedya seperti Jassin memandang ia, Kek. Kata Jassin dalam suratnya, ‘Saudara bagi saya paling menarik dan simpatik apabila bicara tanpa pretensi, sebagai manusia biasa. Tapi segera apabila Saudara beragitasi menyebut-nyebut rakyat, lalu serasa kembung dan sumbang.’ Begitu kata Jassin. Jassin mengagumi Pram karena roman-roman besarnya, tapi tidak sikap politiknya.”

“Pramoedya memikat karena roman-romannya memang. Tapi keterlibatannya dalam politik telah menjadikannya krisis. Kau tahu Nak, mengapa Kakek ceritakan ini padamu? Kau harus selalu ingat. Patung Lenin dapat terjungkal, tembok Berlin bisa roboh, tapi cuaca tak mustahil berubah dan lebih dari penghapusan jejak mungkin saja terjadi.”

Kata-kata itu menenggelamkanku ke dalam perenungan dan spekulasi masa depan. Pada zaman ketika presiden bisa dikritik setiap hari macam ini, dunia menjadi milik orang yang lebih pandai dan lantang bicara. Komunitas-komunitas kebudayaan yang berhaluan kiri tak lagi takut menampakkan jati diri, bahkan meminta simpati. Mau tak mau aku teringat satu laman di dunia maya, yang menjadi ‘rumah besar’ para pengkaji marxis, telah memiliki satu lembaran kebudayaan. Sementara, di haluan lain liberalisme-kapitalisme juga telah mencekoki para sastrawan, baik dengan sastra feminis, sastra lesbian, maupun berbagai varian lainnya. Tidakkah sejarah memiliki pola-pola yang berulang?

“Ruang-ruang kebudayaan harus tetap diisi oleh para sastrawan muslim, yang berkarya untuk dan karena Allah semata. Kebudayaan adalah ladang, Nak, yang menunggu untuk ditanami oleh petaninya. Jika kalian lalai, ruang-ruang itu akan menjadi ladang bagi orang-orang marxis, kapitalis, sosialis, dan segala macam paham lain yang kini membiak subur. Sedang mereka tak tentu bisa kalian harapkan sebagai kawan, maka kalian tak boleh membiarkan ladang itu dikuasai orang lain. Kalian harus bekerja keras memberi pencerahan bagi umat ini lewat buah pena kalian.”

Semburat lembayung mega di batas cakrawala makin pekat. Seperti menunggu tirai yang sedang diturunkan, semesta perlahan-lahan gelap. Dari kejauhan, terdengar suara itik telah digiring pulang ke kandang oleh gembalanya, sementara daun-daun pun terkatup mengunci pintu.

Sebenarnya, hendak kutanya pada Kakek, “Apakah para ulama kita dulu menulis karya sastra, Kek? Siapakah itu dan macam apakah karya mereka? Bagaimanakah pandangan mereka terhadap karya sastra?” Sebab kuingat Hamka dijuluki ‘kyai cabul’ segera setelah menuliskan kedua novelnya –Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck-.

Tapi kudengar langgar di pinggir sawah sana telah mengumandangkan seruan-Nya. Kakek membenahi letak kopiah di kepala, lantas bangkit.

“Ayo ke langgar, Nak,” ajaknya.

(Tanyaku urung. Petang yang akan datang, mungkin Kakek bisa berkisah lagi.)

 

-sebuah catatan singkat, 01-14

Leave a comment